Menyibak Rasa (Cerpen)

Sambil bersandar ke pagar yang membatasi beranda, aku menatap kerlip lampu yang berpendar di kejauhan. Sesekali angin dingin berembus, membuatku mengeratkan telapak tangan pada cangkir kopi hangat yang kupegang. Berbagai macam kenangan merisak pikiranku, sementara dadaku penuh perasaaan aneh yang menyesakkan. Aku benar-benar tidak akan bisa tidur sepertinya.

Bunyi pintu bergeser membuatku kaget. Aku spontan menegakkan badan, membuat kopiku sedikit tumpah mengenai bagian depan bajuku.

“Ouch!” keluhku.

“Hey, belum tidur?” sapa Arka. “Wah, kopimu tumpah!” komentarnya geli.

Aku mendengus.

“Gara-gara siapa emang?” sahutku pura-pura kesal.

“Makanya jangan ngelamun. Lagian ngapain jam segini nggak bisa tidur malah minum kopi? Galau, ya?” godanya. Arka berjalan mendekatiku lalu ikut bersandar di sebelahku.

“Bagi kopinya!” dia mengambil cangkir dari tanganku. Mengirimkan gelenyar aneh menyenangkan saat tak sengaja tangan kami bersentuhan.

Arka hanya menyesap sedikit kopiku, lalu mengernyit dan mengembalikan cangkirnya kepadaku.

“Apa enaknya sih kopi nggak pakai gula?”

“Aku bahkan lupa rasanya kopi yang pakai gula!” ujarku sambil tersenyum. Kuhirup kopi dalam cangkirku, sedikit sengaja, tapi berusaha tak kentara, menempelkan bibirku pada bekas bibir Arka tadi. Oh, freak!

“Kenapa belum tidur? Farah tidurnya ngorok, ya?” tanya Arka lagi sambil terkekeh.

Aku tersenyum dan kembali menyesap kopi. Kali ini sedikit lebih banyak. Rasa kopi memenuhi rongga mulutku. Wanginya kuhirup dalam-dalam hingga aku merasakan sarafku jadi sedikit lebih tenang.

Sengaja kubiarkan pertanyaannya tergantung tanpa jawaban. Mataku terfokus pada sebuah kerlip lampu di kejauhan yang terlihat lebih terang dari pada yang lain. Sesekali cahaya itu berkelip, entah karena memang begitu, atau mataku yang mulai salah melihat. Seperti yang akhir-akhir ini kerap kulakukan. Salah menilai.

Aku menarik napas panjang lalu mengembuskannya keras-keras. Sedikit berharap itu bisa mengurangi rasa sesak aneh yang sedari tadi memenuhi rongga dadaku. Di sebelahku, Arka tampaknya juga akhirnya larut dalam ketenangan malam. Kurasa pertanyaannya tadi hanya sekadar basa-basi. Tidak benar-benar membutuhkan jawaban. Entah mengapa aku yakin Arka juga tahu apa yang sedang aku rasakan.

“Kok sedih, ya?” ujarku.

“Wajar, kok. Pertemuan, perpisahan, semua memang selalu terjadi, kan?”

“Iya.”

“Lagi pula kita semua berpisah karena untuk mengejar cita-cita kita.”

“Muluk nggak, sih? Kalau saat ini aku bilang, kita harus sering-sering ngumpul, ya?” aku menggeser badanku menghadap ke arah Arka. Pria itu menunduk sambil tersenyum. Aku berusaha menyimpan rekaman senyuman itu dalam memoriku karena sebentar lagi, aku tidak akan bisa melihatnya lagi. Arka berbalik, balas menatapku. Untuk kali ini, aku tidak menghindari, justru malah sengaja menatap langsung mata cokelatnya. Kupikir, toh setelah ini kami sudah tidak akan bertemu lagi. Setelah ini, semua jalan sendiri-sendiri dengan kehidupan masing-masing.

“Mungkin, muluk. Namun, sebaiknya tetap harus ada yang mengatakannya. Setidaknya itu menunjukkan kalau kita memang menghargai persahabatan ini.”

Mata kami masih belum lepas satu sama lain. Aku yang terlebih dulu berkedip dan membuang muka sambil menggigit bibir untuk menahan degup jantung yang sangat kencang.

“Aku akan merindukan semua ini,” kataku.

“Sama, aku juga.”

Aku menatap lantai granit berwarna hitam di bawah kami. Sedang memikirkan ide nekat yang tiba-tiba muncul di kepalaku. Ide yang terus mendesak untuk diungkapkan sembari dikompori oleh sisi diriku yang mengatakan, “Ayolah, inilah saatnya. Ini pertemuan terakhir, besok semua akan berakhir dan kalian nggak akan ketemu lagi untuk waktu yang lama.”

Lalu kalimat, “Terima kasih, ya!” meluncur dari bibirku tanpa bisa kutahan.

“Terima kasih untuk apa?” tanya Arka sambil menatapku bingung.

“Terima kasih karena kamu udah pura-pura nggak tahu selama ini,” kataku. Tampaknya aku sudah kehilangan kendali atas lidahku sendiri.

Sekali lagi aku memberanikan diri untuk menatap wajahnya. Sebentuk pemahaman muncul di sana, pertanda bahwa kecurigaanku selama ini telah terkonfirmasi.

Namun, Arka hanya tersenyum tipis dan bertanya, “Soal apa?”

Aku menggeleng geli.

“Kamu tau persis soal apa.”

“Serius!” Arka tertawa.

Aku mendongak ke atas ke arah bulan yang mengintip dari balik daun-daun pohon mangga yang tumbuh di samping villa sewaan kami. Menerka-nerka, seandainya dia bisa bicara, apakah saat ini dia akan memberiku semangat untuk menyatakan perasaanku atau menyuruhku untuk tutup mulut saja? Sepoi angin membuat dahan mangga terangguk-angguk, seolah menyetujui kalimat yang sedang kususun rapi di dalam kepalaku.

“Soal perasaanku ke kamu.”

Hening. Kalimatku itu menghilang begitu saja.

Arka menggosok hidungnya dengan senyum yang dikulum. Senyuman yang menandakan bahwa dia sedang merasa malu. Senyuman yang sering dia perlihatkan kalau kami sedang menggodanya dengan segala kejeniusan dan buah pikirnya yang seringnya brilian.

“Apaan sih!” seruku malu, membuat senyum Arka semakin lebar. Tidak, dia tidak sedang menertawakanku. Aku tahu bahwa saat ini, benar-benar canggung bagi kami berdua. Makanya kami perlu tertawa.

“Kok kamu bisa tahu kalau aku tahu?” tanya Arka dengan senyum lebarnya.

“Berarti benar dugaanku!” ujarku tertawa.

“Loh, jadi hanya menebak?”

“Iya, lah!” aku tertawa puas sekali.

“Kenapa sekarang memutuskan buat ngomong? Apa karena mau berpisah?”

Aku menggeleng pelan, senyum masih tersisa di wajahku. Entah kenapa aku merasa ini aneh sekali, membicarakan perasaaku, pada orang yang selama ini menjadi sahabatku, yang diam-diam aku cintai. Tidak seperti yang kubayangkan, tetapi aku bersyukur kami bisa bicara sesantai ini.

Anyway, aku nggak memutuskan untuk ngomongin perasaanku. Aku hanya berterima kasih. Atas … sikapmu. Kurasa sudah banyak momen kecerobohanku yang memperlihatkan perasaanku, tapi kamu tetap memperlakukanku seperti biasa. Nggak menjauh, nggak canggung. Padahal kita semua tahu kalau nggak mungkin … karena kamu … yah … gimana, ya? Pokoknya, aku berterima kasih saja!”

Well, aku hanya … apa, ya? Aku hanya mencoba berpikir positif saja dan berusaha nggak menerka-nerka. Selama kamu nggak menyatakan perasaan, aku anggap nggak ada apa-apa. Nggak ada untungnya aku menjauh atau bersikap aneh. Itu hanya akan merusak persahabatan kita saja dan aku nggak mau itu terjadi.”

“Kalau aku menyatakan perasaan?”

Arka mendengus geli. “Ya aku akan tetap bersikap biasa kepadamu. Tapi kamu tahu bagaimana perasaanku, justru aku takut kalau kamu yang nanti bersikap aneh sama aku.”

“Benar sih, makanya aku nggak menyatakan perasaan,” gumamku, “Tidak secara langsung,” lanjutku.

“Tidak secara langsung,” kata Arka membeo.

Kami sama-sama terdiam. Aku menikmati perasaan lega dan bahagia yang menyelimutiku. Aku tahu bahwa perasaanku tidak terbalas sebagaimana mestinya. Tetapi aku lega. Tidak ada patah hati sama sekali.

“Tapi menurutku, kamu nggak begitu jujur dengan perasanmu,” kata Arka tiba-tiba.

“Hmm …,” aku menghentikan tanganku yang setengah mengangkat cangkir kopi ke arah mulutku.

“Atau mungkin kamu nggak peka,” lanjut Arka sambil mengangguk.

“Maksudnya?” tanyaku bingung.

“Kamu itu nggak benar-benar menyukaiku. Kamu mungkin hanya, apa ya? Kagum? Atau … ya, pokoknya rasa sayangmu itu ya hanya rasa sayang yang biasa, karena sesungguhnya yang benar-benar kamu sayangi bukan aku.”

“Ap-”

“Darrel.”

Begitu nama itu disebutkan, aku merasakan seluruh emosi yang tadi menggumpal dalam dadaku, melesak keluar begitu saja. Meninggalkan tubuhku kosong dan mendadak diisi oleh rasa tidak nyaman. Aku hanya mampu menatap hampa ke arah Arka yang tersenyum lembut.

“Kamu sadar?” tanya Arka.

“Nggak. Dia itu benci banget lah pokoknya!” dengusku geli. Aku menyesap kopi terakhirku dan meletakkan cangkir kosongnya di meja beranda.

Arka terkekeh. “Benci apaan? Memang kalian sering sekali berantem dan adu mulut. Tapi sebenarnya kalian saling menyayangi. Kamu ingat nggak waktu kejadian kamu terserempet sepeda motor?”

“Apaan, begitu sampai di rumah sakit, dia malah maki-maki aku. Bilang aku drama.”

Arka terbahak, “Dia yang panik banget waktu itu. Menelepon dan memastikan aku harus segera mencarim. Sepanjang perjalananku menuju TKP, dia meneleponku berkali-kali untuk memastikan aku sudah berangkat. Dia juga sudah menelepon banyak orang, menanyakan apa golongan darah mereka dan minta persiapan buat donor darah kalau diperlukan. Aku aja nggak tahu golongan darahmu apa.”

“Wah, lebay sekali dia, ya!” ujarku tertawa mengejek. Namun, hatiku tergelitik senang.

“Dan fakta bahwa dia orang yang kamu hubungi pertama kali waktu kejadian itu pun menandakan bahwa dia, di alam bawah sadarmu, sudah menjadi emergency call-mu. Walaupun logisnya, aku berada jauh lebih dekat sama kamu ketimbang dia.”

Aku tertegun. Benar juga. Aku kembali mengingat kejadian beberapa bulan yang lalu ketika aku terpaksa dirawat di rumah sakit karena terserempet sepeda motor saat sedang dalam perjalanan menuju kantor. Saat itu secara refleks aku langsung menelepon Darrel. Dia bilang akan menghubungi Arka untuk menolongku dan memang Arka yang muncul dua puluh menit kemudian dan mengantarkanku ke rumah sakit. Aku bahkan tidak terpikir Arka sama sekali pada saat itu. Di pikiranku hanya ada Darrel. Kemudian Darrel lah yang setiap hari menjengukku di rumah sakit bahkan sampai menginap. Dia yang setelah itu menjadi supir pribadiku, memperbaiki sepeda motorku dan mencerewetiku untuk mengganti moda transportasiku.

“Naik ojek online aja kenapa sih? Jangan kayak orang susah, lah! Gaji puluhan juta kok nggak sayang sama keselamatan sendiri!” omelnya saat itu.

Aku tertawa.

“Udah mulai paham?” tanya Arka.

“Apaan sih!” aku mengulum senyum.

Arka tertawa terbahak-bahak.

“Dia sayang banget sama kamu,” kata Arka di akhir tawanya.

“Aku juga …,” bisikku.

Lalu semuanya menjadi jelas. Desakan emosi seperti gulungan ombak yang menghantam kesadaranku. Seketika perasaan itu nyata, seolah memang sudah ada di sana selama ini. Namun, memang mungkin selama ini sudah ada di sana hanya saja aku tidak menyadari, terlalu lugu, atau justru menghindari. Lalu, bagaimana perasaanku kepada Arka?

Aku menatap pria itu dengan saksama tetapi entah mengapa terasa biasa saja.

Kesadaran yang baru aku temukan ini mendorong emosiku hingga tanpa sadar aku meneteskan air mata.

“Hey … hey … sini!” Arka menarikku ke dalam pelukannya. Kedua tangannya membungkus tubuhku dengan sempurna. Begitu mencium aroma wanginya, air mataku tak terbendung lagi.

Semua memori yang kami lalui bersama kembali bermunculan di kepalaku. Anehnya, semua memori itu didominasi oleh memori tentang Darrel. Aku semakin tergugu saat mengingat bahwa Darrel setelah ini akan pergi jauh, untuk melanjutkan kuliah di luar negeri. Aku pun akan pindah pulau karena mendapat penempatan dan promosi jabatan di cabang kantor yang baru. Begitu pula dengan Arka. Hanya Farah yang masih akan tetap tinggal di kota ini. Makanya dia tadi siang sudah mengeluarkan serentetan omelan, keluhan, lalu menangis sejadi-jadinya karena merasa ditinggal sendiri di sini.

Mengingatnya, membuat dadaku semakin sesak.

Aku merasakan kecupan di puncak kepalaku, bersamaan dengan terdengarnya suara pintu terbuka di seberang kami.

Aku dan Arka refleks melepaskan pelukan, dan di hadapan kami, Darrel memandangi kami dengan wajah pias.