medically compromised patient

1. Definisi Medik Kompromais
Pasien dengan kondisi medik kompromais adalah seseorang dengan kondisi medis ataupun perawatan medis yang rentan terhadap infeksi maupun komplikasi serius (Marsh & Martin, 1999). Pasien medis kompromais adalah seseorang yang mengidap satu ataupun lebih penyakit dan sedang menjalani satu atau lebih medikasi sebagai perawatan penyakitnya tersebut (Ganda, 2008). Aspek khusus yang perlu diperhatikan adalah efek obat anestesi terhadap kondisi tersebut, potesi interaksi obat, serta kegawatdaruratan medis (Coulthard, et al., 2003).

2. Berbagai kondisi yang termasuk dalam status medikal kompromais
Dhanuthai, et al (2009) mengklasifikasikan kondisi medis kompromais dalam 8 kategori yaitu: alergi, endocrine disorders, cardiovascular diseases, respiratory diseases, hematological disorders, liver diseases, renal diseases, dan penyakit lainnya.

Disorder: Contoh –> Komplikasi Oral
Endokrin: Diabetes melitus –> Infeksi fungal
Kardiovaskuler: Disfungsi mitral valve –> Infeksi endokarditis
Respirasi: Asma –> Rentan terhadap infeksi fungal
Neurologi: Epilepsi –> Hiperplasi gingiva dan penyakit periodontal
Bleeding disorder: Hemofili –> Prolonged bleeding
Penyakit neoplasma: Ca Oral –> Karies dan mukositis
Infeksi kronis: Tuberkulosis –> Oral tubercullosis
Kelainan imunologi: AIDS –> Infeksi fungal
(Marsh & Martin, 1999)

3. Tanda, gejala, patofisiologi, patogenesis (Bricker et al., 1994)
a. Sistem Respirasi
Kerusakan pada sistem respirasi meningkatkan resiko kematian seorang pasien dalam praktek kedokteran gigi karena kemampuan pulmonari menurun, medikasi yang mereka gunakan, interaksi obat, dan resiko transmisi penyakit. Pasien dengan respiratory disorder dapat diidentifikasi melalui riwayat kesehatannya yaitu mengalami kesulitan bernapas, sering terjadi infeksi saluran napas atas, kebiasaan merokok, dan tinggal di lingkungan yang iritan terhadap sistem respirasi.
Gejala: batuk, kesulitan bernapas (dypsnea), sputum, batuk darah, napas berbunyi, dan nyeri dada.
Patogenitas dan patofisiologi:
– Penyakit saluran napas atas: infeksi dan sinusitis
– Penyakit saluran napas bawah: asma
– Penyakit pulmonar kronis obstruktif (COPD): bronkitis kronis, emfisema
– Penyakit paru-paru gramnulomatosa: tuberkulosis, sarkoidosis
– Penyakit lainnya: pneumokoniosis

b. Sistem kardiovaskular
Pasien dengan penyakit kardiovaskuler biasanya menjalani medikasi multipel dan memiliki penyakit serius lainnya seperti asma, osteoartritis, dan diabetes melitus.
Tanda dan gejala: bunyi detak jantung abnormal, dypsnea, orthopnea (dypsnea pada posisi berbaring), jantung berdebar, detak jantung tidak teratur, sakit dada, nail-bed clubbing, distensi vena jugularis, dan tekanan darah tinggi.
Patofisiologi:
– Endokarditis infektif dan kondisi-kondisi yang berhubungan: demam reumatik, rheumatic heart disease, infeksi endokarditis
– Valvular heart disease
– Kelainan jantung bawaan
– Hipertensi
– Penyakit jantung iskemik: arterosklerosis koroner, angina pectoris, infark myokardial
– Cardiac Arrhythmias: bradikardi (denyut jantung lambat), takikardi (denyut jantung cepat)
– Gagal jantung (Gagal jantung kongestif): transplantasi jantung

c. Sistem gastrointestinal
Penyakit-penyakit gastrointestinal merupakan hal yang menarik dalam praktek kedokteran gigi karena kemiripan struktur antara mulut dan saluran gastrointestinal serta kemiripan antara penyakit mukosa oral dan penyakit oral yang merupakan manifestasi penyakit gastrointestinal.
Tanda dan gejala: anoreksia, disfagia, nyeri abdominal, diare, konstipasi, melena, steatorea, malaise, demam, jaundice, distensi abdominal, palmar erythema, kontraktur Dupuytren, leukonisia, jari bengkak, pembengkakan nl. supraklavikular.
Patogenitas dan patofisiologi: xerostomia, sialorrhea, penyakit GI atas, esophageal disorder, hipersekresi kelenjar ludah, hiposekresi kelenjar ludah, penyakit GI bawah, malabsorbsi, inflammatory bowel disease, poliposis intestinal, penyakit pankreas (pankreasitis, fibrisis kistik), dan penyakit liver (hepatitis, sirosis hati).

d. Sistem renal
Penyakit ginjal yang menurunkan fungsi normal ginjal secara reversibel maupun ireversibel dapat berkembang menjadi berbagai manifestasi klinis seperti retensi sisa produk metabolisme, akumulasi toksik dari obat-obatan, terganggunya keseimbangan asam-basa, retensi cairan, dan abnormalitas tekanan darah. Disfungsi ginjal yang persisten seringkali mengakibatkan perlunya dilakukan dialisis darah ataupun transplantasi ginjal.
Tanda dan gejala: anoreksia, nausea, vomiting, penurunan intelektual, letargi, somnolen, bau mulut, neuropati, edema, hipertensi, penurunan berat badan, nyeri tulang, fraktur, pruritus, hematuria, masalah pada buang air kecil, renal osteodystrophy rahang.
Patogenitas dan patfisiologi: sindrom nefritis, sindrom nefrotik, gagal ginjal akut/kronis.

e. Sistem neural
Terlihat adanya kelainan pada kognitif, motorik dan psikososial. Kelainan ini seringnya tidak terdiagnosis hingga beberapa bulan atau tahun. Setelah didiagnosis, masalah neurologi ini biasanya dirawat secara farmakologis. Dokter gigi harus memahami penyakit-penyakit neurologik dan hubungannya dengan perawatan dental karena pasien biasanya mengalami cognitive impaired, kurangnya kemampuan motoris, dan mengalami kesulitan untuk mengerti rencana perawatan gigi yang kompleks.
Patogenitas dan patofisiologi: demensia (penyakit Alzheimer, retardasi mental), serebral palsi, epilepsi, penyakit demyelinasi (multipel sklerosis), kelainan neurotransmiter (parkinson/paralisis agitan), kelainan hubungan myoneural (myastenia gravis), penyakit neuron motorik (sklerosis amyotrofi lateral), penyakit serebrovaskular, neuropati (bell’s palsy/facial palsy, trigeminal neuralgia, neuralgia glosofaringeal, neuralgia sfenopalatina, neuralgia postherpetik).
Tanda dan gejala: penurunan intelektual, kehilangan memori, neuropati, sakit kepala, pening, TIA, iritabilitas mental, konvulsi, gigi menyerpih atau luka pada bibir atau lidah, tremor, muscle fatigue dan kelemahan, kehilangan fungsi motorik, dan nyeri.

f. Sistem hematologi
Penampakan oral dari penderita kelainan hematologi (seperti pembengkakan dan pendarahan gingiva) sangat penting untuk diketahui oleh seorang dokter gigi karena manifestasinya dapat merupakan indikasi awal dari sebuah malignasi penyakit hematologik.
Patogenitas dan patofisiologi: kelainan sel darah merah ( anemia, polisitemia vera), kelainan sel darah putih (neutropenia, leukemia, limfoma, multipel myeloma), kelainan pendarahan (kelainan platelet, kelainan koagulasi bawaan, kelainan koagulasi dapatan).
Tanda dan gejala: takikardi, lemah, kelelahan, sakit kepala, glositis, angular cheilitis, kedinginan, kesemutan, pembengkakan jari, goyah saat berjalan, nyeri abdominal, jaundice, demam, limfadenotapi, berkeringat, nyeri pada tulang dan persendian, infeksi kambuhan, pembengkakan gingiva, pendarahan spontan, menstruasi berat, perpanjangan waktu pendarahan (setelah trauma ringan, operasi minor, maupun pencabutan gigi), adanya petekia atau hematoma, kecenderungan memar.

g. Sistem endokrin
Patogenitas dan patifisiologi: hipersekresi glandula pituitari (gigantisme dan akromegali), hiposekresi glandula pituitari (dwarfisme), hipertiroidisme (tirotoksikosis), hipotiroidisme, hiperparatiroidisme (hipersekresi), hiposekresi glandula paratiroid, hiperadrenokortisme (hipersekresi gland adrenal menyebabkan Cushing’s syndrome), hipoadrenalkortisme (hiposekresi gland adrenal menyebabkan penyakit Addison), hipersekresi medula adrenal (pheochromocytoma), kelainan pankreas (diabetes melitus), kehamilan, dan neoplasia.
Tanda dan gejala: pembengkakan jaringan, nausea, vomiting, kelelahan, dullnes, letargi, somnolen, iritabilitas, neuropati, pruritus, polidipsi, poliuri, hipertensi, penurunan berat badan, kenaikan berat badan, nyeri tulang, fraktur.

h. Penyakit muskuloskeletal dan jaringan ikat
Pasien dengan penyakit muskuloskeletal dan jaringan ikat biasanya menjalani medikasi tertentu bagi penyakitnya. Untuk memberikan perawatan gigi, seorang dokter gigi harus mengenali keterbatasan fisik pasien, komplikasi dari penyakit tersebut, efek samping yang tidak diinginkan dari obat-obatan yang digunakan dalam terapi serta manifestasi oral yang mungkin muncul.
Patogenitas dan patofisiologi: osteogenesis imperfekta (brittle bone disease, tulang mudah patah), osteoporosis, osteomalasia, osteoartritis, rheumatoid arthritis, seronegative spondyloarthropathies (spondilitis ankilosis, artritis psoriasis, sindrom Reiter), gout, Paget disease, kelainan jaringan ikat (lupue erythematosis, sklerodema, Sjorgen’s syndrome, poliarteritis nodosa, polimyositis dan dermotomyositis, sindrom Marfan, sindrom Ehler-Danlos), penyakit otot (distrofi muskular, distrofi myotonik).
Tanda dan gejala: nyeri otot, lemah, parestesia, nyeri sendi, hipermobilitas sendi, kaku sendi, deformitas sendi, nyeri tulang, pembengkakan tulang, fraktur, kiposis, skoliosis, nodus Heberden, nodus Bouchard, elastisitas abnormal kulit, kulit pecah-pecah, nodula pada kulit, mulut kering, dan terbatasnya pembukaan rahang.

4. Identifikasi
Kavitas oral pasien dengan kondisi medis kompromais ditandai dengan adanya perubahan pada mukosa oral, aliran saliva, ataupun pada kandungan salivanya. Infeksi yang paling banyak terjadi pada pasien ini terjadi secara oportunistik atau dalam kasus herpes, kambuh. Banyak infeksi pada pasien medik kompromais meningkat sebagai akibat dari perawatan medisnya (Marsh & Martin, 1999).

Daftar Pustaka
Marsh P,MV Martin. 1999. Oral Microbiology, 4th edition. London: Wright.

Coulthard P, K Horner, P Sloan, and E Theaker. 2003. Master Dentistry, Vol 1. Edinburgh: Churchill Livingstone

Ganda KM. 2008. Dentist’s Guide to Medical Conditions and Complications. Ames: Wiley-Blackwell

Dhanuthai K, K Sappayatosok, P Bijaphala, S Kulvit, T Sereerat. Prevalence of medically compromised conditions in dental patients. Med Oral Patol Oral Cir Bucal. 2009 Jun 1;14 (6):E287-91.

Bricker SL, P Langlais, and C S Miller. 1994. Oral Diagnosis, Oral Mdicine, and Treatment Planning. Malvern: Lea & Febiger

Atypical odontalgia

DEFINISI
Atypical odontalgia adalah nyeri fasial atipikal yang nyata pada gigi normal. Diagnosis ini biasanya disadari oleh dokter gigi setelah gagalnya beberapa perawata yang dilakukan. Nyeri ini biasanya berhubungan dengan prosedur dental atau trauma pada regio yang dirasa sakit. Walaupun penyebab penyakit ini belum jelas, namun dapat dimungkinkan penyakit ini terjadi karena mekanisme putusnya saraf afferen yang disebut deafferentasi (Graff-Radford dan Solberg, 1992).

Atypical odontalgia adalah nyeri hebat, kronis, dan menetap pada satu atau beberapa gigi yang normal secara klinis tanpa dijumpai adanya keadaan abnormal pada tes perkusi, tes thermal, tes elektrik atau radiografi (Biron, 1996; Blasberg dan Greenberg, 1994). Umumnya terjadi tanda-tanda neuropatik seperti allodynia dan hyperalgesia. Panas, dingin, dan tekanan tidak mempengaruhi kondisi nyeri atypical odontalgia (Blasberg dan Greenberg, 1994). Karakteristik atypical odontalgia adalah adanya nyeri setelah tindakan endodontik atau pencabutan gigi dan menetap pada daerah bekas pencabutan gigi atau meluas ke gigi yang berdekatan (Alberts, 2009). Nyeri atypical odontalgia biasanya pada gigi dan tulang alveolar dan tidak mengganggu tidur pasien (Matwychuk, 2004; Koratkar dan Pederson, 2008; Mellis dan Secci, 2007). Pasien sulit menentukan lokasi nyeri. Biasanya nyeri terjadi pada daerah trauma, tetapi dapat meluas ke daerah yang berdekatan baik secara unilateral maupun bilateral (Matwychuk, 2004).

EPIDEMIOLOGI
Insiden atypical odontalgia lebih sering dijumpai pada wanita, khususnya yang berusia 40 tahun (Matwychuk, 2004; Koratkar dan Pederson, 2008; Mellis dan Secci, 2007, Alberts, 2009). Atypical odontalgia bisa mengenai semua umur, kecuali anak-anak (Matwychuk, 2004; Koratkar dan Pederson, 2008). Atypical odontalgia lebih sering mengenai daerah molar dan premolar maksila (Matwychuk, 2004; Koratkar dan Pederson, 2008; Mellis dan Secci, 2007, Alberts, 2009). Pada sebagian besar pasien atypical odontalgia tidak dijumpai adanya penyakit atau penyebab lain. Pada sebagian kecil pasien atypical odontalgia dijumpai gejala yang serius seperti stres dan depresi (EAOM, 2005). Informasi epidemiologi menunjukkan bahwa 3-6% nyeri atypical odontalgia terjadi setelah perawatan endodonti (Matwychuk, 2004).

ETIOPATOGENESIS
Atypical odontalgia umumnya terjadi setelah ekstirpasi pulpa, apikoektomi, dan pencabutan gigi, meskipun demikian atypical odontalgia dapat juga idiopatik (Matwychuk, 2004; Koratkar dan Pederson, 2008; Alberts, 2009). Trauma wajah dan pemblokan saraf alveolaris inferior juga ditemukan sebagai penyebab atypical odontalgia. Atypical odontalgia juga sering diragukan dengan komplikasi paska perawatan normal atau komplikasi dari paska trauma (Matwychuk, 2004).

Patofisiologi atypical odontalgia masih belum jelas, dapat idiopatik, gangguan kejiwaan, atau gangguan saraf. Teori lain menyatakan terputusnya sistem saraf afferen (deafferentasi) yaitu hilangnya atau gangguan serabut saraf sensori akibat luka traumatik yang menyebabkan perubahan pada sistem saraf tepi, saraf pusat, dan saraf otonom (Matwychuk, 2004; Koratkar dan Pederson, 2008; Mellis dan Secci, 2007; Conti, dkk., 2003). Deafferentasi ini menyebabkan nyeri kronik dan gejala lain seperti paresthesia dan dysesthesia. Mekanisme lain dari patogenesis nyeri atypical odontalgia adalah sensitisasi serabut saraf, regenerasi saraf afferent yang berdekatan, aktivasi saraf simpatik afferent, aktivasi silang afferen, hilangnya mekanisme penghambat dan perubahan phenotypic saraf afferen (Matwychuk, 2004).
Nyeri atypical odontalgia memiliki mekanisme yang bervariasi, ada yang ringan, kompleks, dan ada yang tidak jelas. Kerusakan saraf tepi mudah dideteksi. Pada bagian saraf tulang alveolar yang rusak, hiperaktif saraf menyebabkan terjadinya nyeri yang menetap. Nyeri sering menetap dengan blok anestesi. Hiperaktivitas CNS dapat menyebabkan nyeri yang menetap pada gigi. Kerusakan saraf tepi dapat menyebabkan perubahan pada cabang kedua saraf trigeminal yang bersinaps dengan nosiseptor saraf nyeri. Perubahan terjadi secara memusat dimana transmisi nyeri terjadi secara terus-menerus ke pusat cortical yang lebih tinggi (Ganzberg, 1999).

DIAGNOSA
Diagnosa berdasarkan gejala primer seperti lokasi nyeri dan sifat nyeri, dan pengeliminasian penyakit lain yang memiliki gejala yang hampir sama dengan atypical odontalgia. Tes yang mungkin digunakan adalah diagnostic dental x-ray, panoramix, CT scan, dan MRI. Jika anestesi blok tidak dapat mengurangi nyeri atau memberi hasil yang meragukan, maka dapat didiagnosa sebagai atypical odontalgia (Melis dkk., 2003). Kriteria diagnosa atypical odontalgia menurut Graff-Radfort dan Solberg pada tahun 1992 adalah nyeri pada gigi dan sekitar gigi, nyeri yang terus-menerus dan menetap lebih dari 4 bulan, tidak diketahui lokasi nyeri, serta nyeri tidak hilang dengan anestesi blok (Matwychuk, 2004; Koratkar dan Pederson, 2008; Mellis dan Secci, 2007; Blasberg dan Greenberg, 2003). Pada tahun 1995, Pertes dkk memperbaharui kriteria tersebut dengan menambahkan kriteria diagnosa atypical odontalgia yaitu nyeri yang tidak berespon terhadap perawatan gigi (Matwychuk, 2004; Koratkar dan Pederson, 2008).

PERAWATAN
Hal yang paling penting diketahui adalah bahwa tindakan dental harus dicegah dalam perawatan atypical odontalgia. Beberapa literatur menyatakan bahwa perawatan farmakologi sering berhasil dalam perawatan atypical odontalgia. Beberapa nama-nama obat yang telah dicoba dan efektif untuk mengontrol nyeri atypical odontalgia antara lain. Gabapentin, Clonazepam, Baklofen, Aspirin, Phentolamine infusion, Kokain, Doxepin, Monoamine oxidase inhibitors, Opioid, Suntikan anestesi lokal dan kortikosteroid, Penghambat saraf simpatik dan parasimpatik, Topical capsaicin, Eutectic mixture of lidocaine dan prilocaine bases (Mellis dan Secci, 2007).

Obat yang paling efektif adalah trisiklik antidepressan seperti Amitriptilin sendiri atau kombinasi dengan phenothiazin (Koratkar dan Pederson, 2008; Mellis dan Secci, 2007). Hasilnya biasanya baik dan pada banyak pasien dapat menghilangkan rasa nyeri dengan sempurna. Marbach melaporkan 17 dari 25 kasus atypical odontalgia berhasil dirawat dengan trisiklik antidepressan. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh Brooke, yang mana 50% dari 22 pasien sembuh permanen dengan trisiklik antidepressan (Mellis dan Secci, 2007). Perawatan di mulai dengan dosis 20-25 mg amitriptilin yang digunakan untuk mengontrol nyeri dan efek samping. Dosis ini digunakan sampai nyeri membaik, biasanya ditingkatkan sampai 75 mg per hari, tetapi efek samping yang terjadi dapat mencegah dokter/klinisi meningkatkan dosis. Penting untuk membicarakan efek samping obat ini kepada pasien. Efek samping amitriptilin adalah pening, ngantuk berat, sakit kepala, xerostomia, konstipasi, meningkatkan nafsu makan dan berat badan, nausea, hipotensi, aritmia, takikardia, gelisah, sedasi, dan diare (Koratkar dan Pederson, 2008; Mellis dan Secci, 2007). Antidepresan yang lain yang memiliki efek yang sama adalah imipramin, sedangkan nortriptilin menyebabkan rasa ngantuk, hipotensi dan arritmia yang tidak seberat pada amitriptilin. Gejala tidak dapat dikontrol dengan penggunaan tunggal trisiklik antidepressan, tetapi phenothiazin dapat digunakan untuk pengobatan (Mellis dan Secci, 2007).
Meskipun demikian, perhatian khusus seharusnya diberikan kepada respon pasien terhadap pengobatan antidepressan karena efek samping termasuk tardive dyskinesia, yang disebut dengan penyakit extrapyramidal permanen. Kegunaan antidepressan seharusnya dikurangi pada kasus-kasus yang tidak dapat disembuhkan dan dosisnya seharusnya dikurangi dan tidak dilanjutkan setelah nyeri terkontrol (Mellis dan Secci, 2007).

DAFTAR PUSTAKA
Alberts IL. Idiopathic Orofacial Pain: A Review. The Internet J of Pain 2009; 2(6): 1-8.

Biron CR. Atypical Odontalgia is often Dismissed as “Vivid Imagination” During diagnosis. RDH 1996; 16: 40-4.

Blasberg B, Greenberg MS. Oral Symptoms Without Apparent Physical Abnormality. In: Lynch Ma, Brightman
VJ, Greenberg MS, eds. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment. 9th ed. Philadelphia: JB Lippincott Co., 1994: 374-94.

Blasberg B, Greenberg MS. Orofacial Pain. In: Greenberg MS, Glick M, eds. Burket’s Oral Medicine Diagnosis and Treatment. 10th ed. Hamilton: BC Decker Inc., 2003: 307-40.

Conti PCR, Pertes RA, Heir GM. Orofacial Pain: Basic Mechanisms and Implication for Successful Management. Pain 2003; 11(1): 1-7.

EAOM. Atypical and Idiopathic Facial Pain. School of Dental Medicine University of Zagreb 2005.

Graff-Radford SB, Solberg WK. Atypical odontalgia. J Craniomandib Disord. 1992 Fall;6(4):260-5.

Koratkar H, Pederson J. Clinical Feature: Atypical Odontalgia: A Review. J Minnesota Dent Assoc 2008; 1(87): 1-6.

Matwychuk MJ. Diagnostic Challenges of Neuropathic Tooth Pain. J Can Dent Assoc 2004; 70(8): 542-6.

Melis M, Lobo-lobo S, Ceneviz C. Atypical Odontalgia: A Review of the Literature. Headache 2003; 10: 1060-74.

Mellis M, Secci S. Diagnosis and Treatment of Atypical Odontalgia: A Review of the Literature and Two Case Reports. J Contemp Dent Pract 2007; 3(8): 81-9.

Burning Mouth Syndrome (Sindrom mulut terbakar)

DEFINISI
Sindrom mulut terbakar (disebut juga glossodynia, glossopyrosis, dysaesthesia oral) ditandai dengan sensasi terbakar yang mempengaruhi mukosa oral yang disebabkan oleh faktor lokal dan sistemik lain misalnya xerostomia, desain gigi tiruan yang tidak baik, diabetes, anemia (Coulthard dkk., 2003).

Sindrom mulut terbakar adalah kondisi yang sangat menyakitkan yang sering didefinisikan sebagai sensasi panas di lidah, bibir, palatum ataupun di seluruh rongga mulut. Walaupun sindrom ini dapat mengenai siapapun, namun lebih banyak terjadi pada wanita setengah baya maupun lanjut usia. Sindrom mulut terbakar sering terjadi dengan disertai berbagai kondisi medis dan gigi, dari kekurangan gizi dan menopause sampai mulut kering alergi. Tetapi hubungan mereka tidak jelas, dan penyebab pasti sindrom mulut terbakar tidak selalu dapat diidentifikasi dengan pasti (National Institute of Dental and Craniofacial Research, 2010).

Presentasi klinis (Coulthard dkk., 2003).
1. Jenis kelamin: lebih sering terjadi pada wanita daripada pria
2. Umur: biasanya lebih dari 50 tahun
3. Sifat: sensasi terbakar. Pasien mungkin mendeskripsikannya sebagai mukosa mulut yang terasa terbakar atau terkena merica
4. Durasi: muncul setiap hari dan biasanya terjadi dalam periode yang panjang (bulanan sampai tahunan). Gejala yang dirasakan pasien tidak mengganggu tidur. Beberapa pola yang berbeda dapat dideskripsikan dan diklasifikasikan menurut sistem:
a. Tipe 1: tidak muncul saat bangun tidur, keparahan meningkat dengan jalannya hari
b. Tipe 2: muncul saat bangun dan terasa sepanjang hari
c. Tipe 3: intermiten, pola kejadian tidak dapat diprediksi
5. Lokasi: sensasi terbakar biasanya terjadi pada lidah, bibir, palatum keras, muncul di salah satu tempat tersebut ataupun bersamaan. Jika muncul di salah satu tempat, maka seringnya muncul pada lidah. Pada tipe 3 muncul di tempat yang tidak biasa seperti tenggorokan dan dasar mulut.
6. Faktor inisiasi: tidak terdapat faktor inisiasi yang jelas. Namun pasien melaporkan bahwa sensasi ini tidak muncul saat mereka makan ataupun bekerja dan lebih terasa saat istirahat. Analgesik seringnya tidak efektif.
7. Rasa sakit datang secara konstan namun dapat juga datang dan pergi. Kecemasan dan depresi umum didapati pada orang dengan sindrom mulut terbakar dan kemungkinan diakibatkan oleh rasa sakit kronis yang mereka alami (National Institute of Dental and Craniofacial Research, 2010).
8. Gejala lain dari BMS termasuk: Kesemutan atau mati rasa di ujung lidah atau di mulut, Perubahan rasa pahit atau seperti logam, Mulut kering atau sakit mulut (National Institute of Dental and Craniofacial Research, 2010).

PENYEBAB (National Institute of Dental and Craniofacial Research, 2010)
Ada beberapa kemungkinan penyebab sindrom mulut terbakar, diantaranya:
1. Kerusakan saraf yang mengendalikan rasa sakit dan pengecapan
2. Perubahan hormon
3. Mulut kering, yang dapat disebabkan oleh banyak obat-obatan dan gangguan seperti sindrom Sjögren atau diabetes
4. defisiensi nutrisi
5. Oral kandidiasis
6. refluks asam
7. gigi tiruan yang tidak pas atau alergi dengan bahan gigi tiruan
8. Kecemasan dan depresi
Pada beberapa orang, sindrom mulut terbakar mungkin memiliki lebih dari satu penyebab. Tapi bagi banyak orang, penyebab pasti dari gejala-gejalanya tidak dapat ditemukan.

DIAGNOSIS (National Institute of Dental and Craniofacial Research, 2010)
Diagnosis dapat dilakukan dengan bantuan pemeriksaan oral secara menyeluruh dan pemeriksaan medis secara umum untuk mengetahui sumber penyebab rasa terbakar tersebut, diantaranya:
1. Kerja darah untuk mencari infeksi, kekurangan gizi, dan gangguan yang berkaitan dengan sindrom mulut terbakar seperti diabetes atau masalah tiroid
2. swab oral untuk memeriksa kandidiasis oral
tes alergi terhadap bahan gigi tiruan, makanan tertentu, atau zat lain yang mungkin menyebabkan gejala-gejala tersebut.

PEMERIKSAAN KLINIS (Coulthard dkk., 2003)
Riwayat medis dan sosial yang ditemukan pada pasien mungkin sama dengan penderita nyeri fasial atipikal. Pemeriksaan klinis yang teliti penting untuk mendeteksi penyebab lokal dari gejala pasien, misalnya tanda untuk
1. kondisi seperti eritem, migrain, glositis, liken planus, dan kandidiasis,
2. tanda-tanda kebiasaan buruk parafungsional seperti bruxism, menggertakan gigi ataupun mendorong-dorong lidah,
3. pemeriksaan desain gigi tiruan, khususnya yang berkaitan dengan kecukupan freewayspace dan posisi gigi terhadap kecukupan ruang untuk lidah
4. xerostomia

PEMERIKSAAN KHUSUS (Coulthard dkk., 2003)
Pemeriksaan difokuskan untuk mendeteksi penyebab sensasi terbakar yang mempengaruhi mukosa. Penghitungan darah lengkap dan hematinik untuk mendiagnosis anemia dan atau defisiensi besi, folat atau vitamin B12. Kemunculan infeksi kandida tidak dideteksi dengan swab ataupun smear namun dengan pemeriksaan kuantitatif menggunakan sampel saliva. Kemunculan dan derajat xerostomia dinilai dengan sialometri. Gula darah dihitung untuk mengetahui adanya diabetes. Pasien mungkin mempunyai alergi terhadap beberapa material kedokteran gigi, dengan tidak adanya riwayat yang jelas ataupun tanda klinis yang membuktikannya, hindari tes alergi seperti tes patch pada pasien.

MANAJEMEN MEDIS
Sensasi terbakar di rongga mulut yang terdeteksi memiliki penyebab lokal maupun sistemik harus di rawat. Jika penyebab tidak terdeteksi atau perawatan yang dilakukan tidak menunjukan hilangnya gejala, sensasi rasa terbakar ini mungkin disebabkan oleh defisiensi vitamin B1 dan B6. Pemeriksaan terhadap level vitamin tersebut dapat dilakukan kemudian disertai dengan peresepan vitamin B1 dan B6 selama 1 bulan dosis terukur (50 mg perhari). Perhatikan kaitan gejala dengan sifat neoplastik serta hubungan dengan stres dan kecemasan (Coulthard dkk., 2003).

Pengobatan harus disesuaikan dengan kebutuhan, tergantung pada penyebab gejala sindrom, pengobatan mungkin dapat mencakup:
1. Menyesuaikan atau mengganti gigi palsu yang mengiritasi
2. Mengobati gangguan yang ada seperti diabetes, sindrom Sjögren, atau masalah tiroid untuk memperbaiki gejala mulut terbakar
3. Suplemen untuk kekurangan nutrisi
4. Ganti obat jika obat yang menyebabkan mulut terbakar
5. Resep obat untuk
6. meredakan mulut kering
7. mengobati kandidiasis oral
8. membantu mengontrol nyeri dari kerusakan saraf
9. mengurangi kecemasan dan depresi.

Bila penyebab yang mendasari tidak dapat ditemukan, pengobatan ditujukan pada gejala untuk mencoba mengurangi rasa sakit yang terkait dengan sindrom mulut terbakar (National Institute of Dental and Craniofacial Research, 2010).

DAFTAR PUSTAKA
Coulthard P, K Horner, P Sloan, and E Theaker. 2003. Master Dentistry Vol 1: Oral and Maxillofacial Surgery, Radiology, Pathology and Oral Medicine. Edinburgh: Churchill Livingstone.
National Institute of Dental and Craniofacial Research. 2010. Burning Mouth Syndrome. http://www.nidcr.nih.gov/OralHealth/Topics/Burning/BurningMouthSyndrome.html (diunduh tanggal 30 Oktober 2010)