#fanfict – Takdir Medusa

Medusa duduk di hadapan cermin dan memandang ke dalam kedua matanya sendiri. Meski dia selalu menyukai matanya, namun dia tidak menyukai bayang-bayang kesedihan yang terlihat di matanya saat ini. Medusa selama ini meyakini bahwa takdir itu ditentukan olehnya sendiri dan apa yang tertulis masih bisa diubah. Namun kenyataan bahwa api abadi yang membakar jimatnya berubah warna menjadi hitam tetap menimbulkan beban tersendiri dalam hatinya.

Pintu kamar Medusa diketuk. Ceto memasuki kamar medusa diikuti oleh kedua kakaknya. Medusa berusaha tersenyum menyambut kedatangan mereka. Walaupun senyum yang ditunjukkannya tetap tidak dapat mencapai matanya.

“ Anakku, kau mengurung diri dari kemarin. Apakah kau masih memikirkan ramalan api abadi itu?” tanya Ceto berhati-hati. Medusa menyunggingkan senyum dan memandang ibunya dengan sedih.

“ Berubahnya api abadi menjadi hitam adalah kejadian yang sangat langka ibu. Aku tau itu. Dan entah mengapa aku justru mendapat kehormatan semacam itu.”

Ceto membelai rambut Medusa. “ Sayang, apapun yang diramalkan oleh api abadi bisa saja berubah. Takdirmu akan berubah tergantung dengan keputusanmu. Maka dari itu kau harus berhati-hati dalam mengambil keputusan..”

“ Aku takut Ibu!”

“ Semua orang juga akan takut jika mendapatkan ramalan seperti itu. Tapi ibu tau kau pasti bisa mengatasinya sayang. Ayah dan ibu juga akan tetap mendampingimu ketika tiba saatnya kau memimpin kerajaan Nak!” ujar Ceto. Medusa mendongak menatap ibunya lalu beralih memandang kedua kakaknya. Dia menelan ludah dan memutuskan sudah saatnya dia mengutarakan keinginannya.

“ Ibu, mengenai masalah itu. Aku.. aku sebenarnya tidak ingin memimpin.”kata medusa takut-takut. Belaian tangan Ceto otomatis terhenti. Dia begitu kaget mendengar penuturan putrinya.

“ Apa maksudmu?”

“ Aku ingin seperti Stheno dan Euryale. Aku ingin menjadi biarawati dan mengabdi untuk umat manusia ibu.”

“ Tapi takdirmu adalah menjadi pemimpin kerajaan kita Nak!”

“ Bukankah ibu sendiri bilang bahwa takdir dapat berubah?”

“ Iya tapi..” Ceto terdiam. Hatinya bimbang menghadapi keinginan putrinya ini.

“ Ibu, apakah salah jika aku ingin menjadi biarawati? Keturunan ayah masih banyak. Mereka dapat menggantikan ayah menjadi raja. Aku hanya ingin mengabdi, menjadi biarawati ibu.”

“ Nak..”

“ Ibu, jika Stheno dan Euryale diperbolehkan menjadi biarawati, mengapa aku tidak? Apa bedanya ibu?” tuntut Medusa.

“ Bedanya, kamu tidak imortal seperti kami.” Seraut wajah muncul dari balik pintu. Phorcys datang dan masuk ke kamar Medusa, bergabung dengan istri dan ketiga putrinya.

“ Apa maksud ayah?” tanya Medusa ketakutan. Ceto menggeleng memperingatkan suaminya. Namun Phorcys tampaknya telah memiliki keputusan sendiri. Medusa harus tau hal ini, pikirnya.

“ Kau, tidak imortal seperti kami Nak! Itulah mengapa ayah menginginkanmu menjadi penerus tahta kerajaan ayah. Karena dengan begitu, kau lebih dekat dengan kami sehingga kami dapat tetap melindungimu.” Kata Phorcys. Medusa syok mendengar berita itu. Akhirnya dia mengerti mengapa sedari dulu dia diperlakukan berbeda dari saudari-saudarinya yang lain.

“ Ka.. kalau begitu aku.. aku bisa..” tenggorokan Medusa tercekat. Hatinya mencelos ketika ayahnya mengangguk.

“ Ya. Kau bisa mati.”

“ Mengapa begitu ayah? Mengapa aku berbeda?”

“ Itu sudah tertulis pada jalinan takdirmu Nak!”

“ Baiklah! Jadi ini semua tentang takdir! Lama-lama aku bisa membencinya! Memangnya apa salahku? Mengapa harus aku yang berbeda?” Medusa mendengus geram. Ceto dan kedua kakaknya mengelilinginya. Berusaha membuat Medusa tenang.

“ Ayah juga tidak tau Nak! Tapi memang seperti itulah kenyataannya. Maka dari itu, kau harus tetap tinggal dekat dengan kami agar bisa kami lindungi.”

Medusa menatap ayahnya dengan penuh kemarahan. Namun dia menyadari apa yang tergambar pada wajah ayahnya adalah perasaan sayang yang teramat sangat kepadanya. Sejenak emosinya mengendur.

“ Kalau begitu biarkan aku menjadi biarawati ayah! Aku akan melawan takdir ini dan kupastikan bahwa akulah yang akan menang!”

“ Tidak! Kau tidak boleh!”

“ Tentu saja aku boleh! Aku putri dewa laut palung dalam. Dewa yang paling hebat di lautan. Sekalipun aku mortal, aku tetap mewarisi kekuatan ayah!”

“ Ayah sudah menentukan. Kau tetap tinggal!”

“ Jadi sekarang ayah mulai mengatur hidupku?”

“ Ayah ingin yang terbaik untukmu!”

“ Tidak jika itu berarti menghalangi kebahagiaanku ayah!”

“ Kau betul-betul tidak tahu diri! Apa yang ayah lakukan adalah untuk melindungimu!”

“ Tapi..”

“ Sudah cukup! Kau dihukum! Kau tetap tinggal di kamar ini sampai kau bisa memutuskan yang terbaik untuk dirimu sendiri!” Phorcys berbalik ke arah pintu. Ketika hendak mencapai pintu, Phorcys menambahkan, “ Kalian bertiga juga tidak boleh menemui Medusa hingga kepalanya tau mana yang benar dan mana yang salah!”

“ Suamiku..”

“ Keluar sekarang Ceto! Kalian juga Stheno dan Euryale! Biarkan dia sendiri agar bisa merenungi kesalahannya!” Phorcys meninggalkan kamar Medusa tanpa menoleh lagi. Ceto memeluk putrinya kemudian mengajak Euryale dan Stheno meninggalkan kamar Medusa karena dia takut suaminya akan bertambah marah.

“ Ibu.. tolong aku..” rintih Medusa. Ceto memandangi putrinya dengan hati yang gundah. Dia menggeleng lau pergi meninggalkan kamar Medusa.

“ Kak.. tolong aku..” Medusa memohon kepada kedua kakaknya yang masih tinggal. Stheno bertukar pandang dengan Euryale. Tampaknya mereka memikirkan sebuah rencana, keduanya lalu tersenyum kepada Medusa.

“ Kami akan lakukan apa yang kami bisa. Kau tetap berdoalah agar rencana kami berjalan lancar!”

“ Benarkah Kak?”

“ Kami berjanji akan berusaha semampu kami!”

“ Terima kasih!” Medusa mengusap air matanya lalu memeluk kedua kakaknya. Tak lama Euryale dan Stheno pun keluar dari kamar Medusa, meninggalkan adik mereka dan mulai menyusun rencana.

*bersambung

———————————————————————————————————————————-

previous story

1. Ulang tahun

2. Pesona Gadis Palung Laut dalam

3. Debaran yang Sama

4. Upacara Kedewasaan

———————————————————————————————————-

picture taken from: http://25.media.tumblr.com/tumblr_m27yz9nj4Z1qbi1uwo1_1280.jpg

#fanfict – upacara kedewasaan

Medusa maju hingga ke tengah ruangan. Punggungnya seperti tergelitik karena merasakan seluruh mata kini tertuju kepadanya. Dia berhenti tepat di hadapan api abadi dari Gunung Olympus yang dibawa dalam sebuah piala. Jilatan apinya yang berwarna biru itu terlihat sangat ramah dan dingin.

Dibantu oleh seorang dayang yang mengikutinya, Medusa melepaskan jubah rumput lautnya. Memperlihatkan tangannya yang ramping dan putih.  Dia menunduk, tangannya meraba  lehernya dan menemukan kalung jimat masih tergantung dengan nyaman. Jimat itu telah dipakainya sejak dia masih bayi dan dia masih tak percaya sekarang dia harus melepaskanya.

Medusa menarik kalung jimat itu hingga terlepas dari lehernya. Dia menangkupkan kedua tangan sehingga jimat itu tergenggam di dalamnya dan mulai membisikkan doa-doa. Sementara itu dewa-dewi yang hadir mengikuti Medusa dengan menangkupkan kedua tangan mereka dan berdoa untuk keselamatan Medusa. Setelah merasa cukup, Medusa menarik napas dan menghelanya pelan-pelan. Dengan berat hati, Medusa melemparkan jimatnya ke dalam jilatan api abadi. Api biru itu mendesis. Semuanya menjadi hening dan memperhatikan api tersebut.

Api masih menari-nari setelah melahap jimat medusa. Warna birunya perlahan meredup dan berganti warna menjadi merah muda. Semua yang hadir di ruangan bertepuk tangan. Warna merah muda adalah pertanda kebahagiaan. Api mendesis lagi dan seketika ruangan kembali menjadi hening.  Warna merah muda itu meredup dan berganti menjadi warna hitam. Semua yang hadir di sana tercekat. Hitam adalah tanda ketidakberuntungan dan belum ada yang mendapatkan warna ini setelah sekian lama. Bisik-bisik mulai menyebar ke seluruh ruangan. Medusa memperhatikan sekitarnya dengan wajah yang memucat. Dia menelan ludah. Ramalan nasibnya ini pasti akan menjadi perbincangan yang abadi di kalangan para dewa.

Api mendesis sekali lagi dan memunculkan warna keemasan sebelum akhirnya kembali menjadi warna biru. Dewa-dewi, bahkan Medusa pun, sudah telanjur tercengang dengan warna hitam yang muncul sehingga tidak ada yang memperhatikan kejadian terakhir itu. Padahal, warna keemasan adalah pertanda kemasyhuran.

*bersambung

——————————————————————————————————————————

previous story

1. Ulang tahun

2. Pesona Gadis Palung Laut dalam

3. Debaran yang Sama

—————————————————————————————————————————

picture taken from: http://1.bp.blogspot.com/_hYeT-5AHN-g/TKUIojobbUI/AAAAAAAAABY/Zbbs1aQ7LCc/s1600/ADULT_GOBLET_OF_FIRE_rgb1.jpg

#fanfict – Debaran yang sama

Medusa memandang berkeliling ke seluruh penjuru ruang aula. Ada sesuatu yang menarik perhatiannya ketika dia berjalan masuk ke ruang ini. Sesuatu, bukan, seseorang yang menggetarkan hatinya, yang membuat sesuatu di dalam perutnya menggeliat. Lalu matanya menemukan seseorang itu sedang berdiri dengan gagahnya di bagian lain dari aula itu. Dia nampak sedang asik berbincang dengan dewi yang dikenalinya sebagai Athena. Laki-laki itu bergerak-gerak dengan semangat, tampaknya sedang membicarakan sesuatu yang seru dengan Athena. Mungkin sebuah strategi perang, jika itu berhubungan dengan Athena, dewi kemenangan yang gila perang.

Selama Medusa berbincang dengan para dewi di sekitarnya, matanya sering mencuri-curi pandang ke arah lelaki itu. Beberapa saat dia merasa lelaki itu juga sedang mencuri pandang kepadanya. Jantungnya berdebar kencang, wajahnya terasa panas. Namun dia berusaha menenangkan diri dengan menghela napas keras-keras. Saat itulah dia menyadari seseorang tengah memperhatikannya. Seorang anak kecil dengan sepasang sayap di tubuhnya tersenyum pada Medusa.  Dia mengedipkan mata penuh arti. Medusa tau urusan ini akan menjadi gawat. Anak kecil itu, Eros, tampaknya sedang mengincarnya.

Medusa menggelengkan kepala ke arahnya dengan pandangan memohon. Tidak! Dia tidak boleh jatuh cinta pada lelaki di seberang sana. Seluruh dunia akan mengutuknya jika hal itu terjadi. Namun Eros sepertinya tidak peduli. Dia justru menikmati setiap aura cinta yang dipancarkan oleh Medusa.  Beruntung, ketika Eros mengangkat busurnya, Dewa Phorcys menginterupsi para tamu dengan suaranya yang menggelegar.

“ Terima kasih sudah bersedia menghadiri pesta ulang tahun putri kami, Medusa. Tak terasa, putri kecil kami kini telah tumbuh menjadi wanita dewasa. Malam ini akan diadakan pula upacara kedewasaan baginya. Kami mohon agar kawan-kawan bersedia memberikan berkat kalian bagi Medusa. Nah medusa, bersiaplah!”

Seketika itu pikiran tentang lelaki tadi terabaikan. Debar di jantung Medusa semakin kencang. Saat ini praktis dia menjadi pusat perhatian. Dia merasa bahkan melangkahkan satu kakipun dia tak akan bisa. Medusa merasakan seseorang menggenggam tangannya. Dia menoleh dan mendapati ibunya tersenyum. Medusa merasakan aliran energi ketenangan dari tangan ibunya itu. Medusa melangkah maju dan merasa lebih siap. Inilah saatnya!

 

*bersambung

————————————————————————————————————————————-

previous story:

1. Ulang tahun

2. Pesona Gadis Palung Laut Dalam

—————————————————————————————————————-

picture from: