PAGI BERBAGI part 2: Kontras

Kami berlima dengan 3 buah sepeda motor, beriring-iringan melaju menyusuri jalanan kota Yogyakarta yang mulai sepi hanya dengan berbekal 50 box nasi dan segenggam semangat untuk berbagi. Bima dan Astrid di depan untuk memimpin. Aku dan Dipta mengekor di belakang mereka. Mas Arya mengambil posisi paling belakang untuk menjaga iring-iringan kami.

Slideshow ini membutuhkan JavaScript.

Beberapa nasi box telah sampai ke tangan para dhuafa berkat kejelian mata Astrid dan Bima. Aku heran bagaimana caranya mereka bisa menemukan para tunawisma ini, bahkan di bagian tergelap dari emperan toko sekalipun di sepanjang jalan yang kami lewati. Kurasa ada campur tangan Tuhan. Ini semakin membuatku kagum dengan cara Tuhan mengurus umat-umatNya. Dia tak pernah lalai meskipun kita sering berlaku kebalikannya. Bahkan kepada mereka yang kita kira sangat miskin papa pun, Dia selalu menemukan cara untuk tetap membuat mereka bisa makan.

Dan bertahan hidup.

***

Kami menemukannya di emperan sebuah toko, sedang duduk sendirian memandangi jalan raya, dikelilingi oleh entah-apa-saja yang dibawanya (mungkin itu harta benda terakhirnya). Dia seorang nenek tua yang tak menarik perhatian, dibalut kebaya tua dan jarik yang usang. Wajah keriput dan rambut putihnya menjelaskan lamanya waktu yang telah ia lampaui, mungkin sekitar 70 tahun atau lebih.

Kami menepi di dekat tempatnya duduk termenung menunggu-entah-apa. Astrid mengeluarkan satu box nasi lalu turun dari boncengan Bima dan menghampirinya. Sementara Dipta turun dari boncenganku sambil menenteng 2 box nasi dan menyebrang jalan untuk memberikannya kepada tukang becak yang mangkal di sana. Dipta kembali dengan tangan kosong, namun Astrid kembali dengan masih menenteng nasi box yang tadi dikeluarkannya.

” Mbahnya nggak mau dikasih Mbak! Dia bilang, ‘ Saya nggak butuh! Kasih saja ke orang lain! Masih banyak yang lebih membutuhkan nasi itu daripada saya.'” Astrid melapor, menjawab pertanyaan tak terucapkan yang pastinya terlihat jelas dari raut wajahku.

Aku terpekur. Betapa beraninya wanita tua itu menolak rejeki yang menghampirinya. Menolak sesuatu yang kami tau pasti juga dibutuhkannya. Menolak untuk dirinya sendiri dan memilih untuk memberikan kesempatannya kepada orang lain. Sungguh saat itu aku lagi-lagi tercengang oleh pelajaran yang tengah disisipkan Tuhan kepadaku. Bahwa pada keadaan yang paling sulit pun, ada orang-orang yang masih sanggup berbagi. Bahwa jika seseorang yakin akan kasih Tuhan, maka dia akan berani memberi lebih dan lebih lagi. Aku memahami bahwa wanita tua itu bukan sedang menolak rejeki, dia justru sedang memberi, bahkan lebih banyak jika dibandingkan dengan 50 box nasi yang kami bawa malam itu. Dia membuatku memahami lebih dalam makna kata ‘berbagi’.

***

Sementara itu ribuan orang di beberapa daerah tengah ricuh mempersoalkan issue kenaikan harga BBM. Berbuat onar, membakar apa saja, mencela, menyakiti satu sama lainnya, bertindak atas nama rakyat yang padahal tidak semua ingin diatasnamakan. Mereka tengah merasa sedang menjelma menjadi sekumpulan manusia heroik yang memperjuangkan kepentingan rakyat. Namun bagiku, mereka tak lebih dari sekedar pengacau yang ketakutan akan jatuh semakin miskin karena harus membayar lebih untuk kehidupan. Tak lebih dari orang-orang yang kehilangan akal. Tak lebih dari sekumpulan orang-orang yang lupa bahwa Tuhan maha pemberi rejeki, bahwa Tuhan maha memelihara. Karena jika mereka percaya, maka sesungguhnya mereka tak perlu gusar.

Aku tak sedang mencela apa yang mereka lakukan, aku hanya tak setuju caranya. Lagipula aku cukup yakin bahwa Tuhan akan mencukupiku.  Aku juga yakin bahwa pemimpin yang dzalim pasti akan mendapatkan ganjarannya. Jika tidak di dunia, maka akan mereka dapatkan di akhirat.

***

Dua pemandangan yang terjadi bersamaan ini membuatku berpikir ulang dan mengkoreksi sekian banyak poin dalam hidupku. Merenungkan tentang peranan setiap manusia. Merenungkan setiap kejadian yang aku rasa, aku lihat, aku dengar, dan memaksa diriku sendiri untuk belajar.

***

Aku menyebutnya kontras.

Seorang nenek tua yang mungkin tak pernah mengenyam bangku pendidikan, yang hidupnya jauh dari kenyamanan, yang menghabiskan seluruh sisa hidupnya di jalanan.

Lalu ratusan-ribuan manusia berpendidikan tinggi yang sedang (merasa) berjuang demi kepentingan rakyat (tapi jujur aku hanya melihat keonaran), yang meskipun ada yang (merasa) hidupnya sulit namun masih bisa merasakan kasur-kasur yang hangat dan nyaman, yang mungkin masa tuanya akan dihabiskan di rumah peristirahatan dan dikelilingi anak serta cucu-cucu yang mapan.

***

Dua sisi yang sangat senjang, dan aku tau mana yang lebih mulia.

———————————————————————————————————————-

Tulisan sebelumnya: Berbagi Nasi Box

Rujukan:

1. http://pagiberbagi.wordpress.com/

2. http://twitter.com/pagiberbagi

PAGI BERBAGI part 1: berbagi nasi box

Aku dan Dipta (@hanidipidipta) yang pertama kali sampai di tempat perjanjian tepat pukul tujuh malam. Kami memesan dua gelas es teh dan menonton berita tentang demo sembari menunggu kawan-kawan yang lain. Malam ini kami dan beberapa teman dari komunitas PagiBerbagi berencana akan melakukan aksi “Berbagi Nasi Box”. Aku sendiri merasa sangat bersyukur karena akhirnya dapat mengikuti acara yang diadakan oleh @PagiBerbagi setelah beberapa kali gagal berpartisipasi karena waktunya selalu bertubrukan dengan jadwal pulang kampung. Jadi malam itu aku tak kalah bersemangatnya dengan teman-teman mahasiswa yang sedang (adu otot dan emosi) demo menolak dinaikannya harga BBM di depan gedung DPR.

Pukul setengah delapan seorang gadis manis berambut panjang dengan kacamata yang membingkai matanya datang. Dia memperkenalkan diri sebagai Astrid (@grettywaworuntu). Kami, Dipta dan Astrid, mengobrol tentang ini dan itu meskipun aku lebih banyak men-scroll timeline twitterku karena merasa sangat kepo dengan berlangsungnya (pesta kembang api) demo penolakan naiknya harga BBM. Beberapa saat kemudian barulah mas Arya (@aryagede) disusul oleh Bima (@BimaAryawan) melengkapi kelompok kecil kami.

Menu nasi box yang dibagikan

Astrid memberitahu kami bahwa sekitar jalan Solo macet tak terkira karena adanya demo. Aku menambahkan beberapa titik yang juga ditutup karena demo yang kuketahui dari twitter. Hal ini membuat kami mengubah rencana yang awalnya akan melakukan pembagian di sekitar Malioboro dan mencari alternatif tempat lain. Boleh atau tidak, aku merasa sangat kesal dan bertanya-tanya, apakah jika para demonstran itu tau kami akan melakukan sesuatu (yang lebih riil) untuk rakyat (yang katanya) mereka bela dan aksi mereka sedikit mengacaukan kami maka mereka akan mengurungkan aksi mereka di tempat tersebut? I don’t think so dan aku malas memperpanjang pikiranku ini. Aku sendiri tau bahwa aku anti demo (lebih tepatnya anti kekerasan) sehingga selalu skeptis jika membicarakannya.

Akhirnya kami memilih sasaran Godean – Wates dan mendiskusikan rute yang harus kami tempuh (MM UGM, jembatan teknik, perempatan Jetis, Jalan Magelang, Godean, Wates). Aku dan Dipta membawa 20 box nasi, Bima dan Astrid 20 box, dan Mas Arya 10 box. Kami berangkat pukul 21.30 dengan semangat yang membara, menembus keremangan malam Yogyakarta yang dingin untuk menyaksikan bukti bahwa Tuhan tak pernah lalai mengasihi umatNya.

50 box nasi yang siap dibagikan