Malam ini harus tuntas

Aku duduk termenung menatap butiran-butiran hujan serupa ratusan wajah mungil yang kemudian meluncur turun membentuk alur-alur yang berkelok pada kaca jendela kamarku. Hembusan angin sesekali menyusup dari celah jendela yang sengaja kubuka sedikit agar dapat mengantarkan wangi petrichor. Rintik air yang mengetuk-ketuk atap rumah dan jalanan basah terdengar semakin teratur dan menjelma menjadi musik yang melenakan. Mengantarkanku pada kenangan masa lalu.

Sudah hampir satu bulan berlalu. Namun kesedihan masih saja mengungkung langitku. Hilang timbul dalam waktu 24 jam sehariku. Membuatku enggan merasakan kesenangan yang lebih daripada yang kuijinkan. Membentengiku dengan tembok yang tinggi dari hal-hal yang terjadi di luar sana. Memaksaku memilih buku dan pikiranku sendiri sebagai teman sepanjang minggu.

Aku sebenarnya enggan mengingat-ingat apa yang telah berlalu. Namun aku memaksa diri, mengeluarkan semua memori itu dan membacanya perlahan. Memaksa diri menikmati setiap perih yang timbul akibat perbuatanku itu. Berjengit ketika senyum atau tertawanya melintas dalam ingatanku. Semua ini sepadan, karena setelah ini, kuharap tak akan ada lagi masa lalu yang merantai kakiku.

Aku kembali mengingat awal perkenalan yang diawali oleh ketidakyakinan di hatiku. Sulit mempercayai begitu mudahnya dia jatuh hati padaku. Namun entah mengapa aku justru memilih untuk balas mencintainya. Mungkin karena aku sudah letih untuk menunggu, mungkin juga karena sikapnya yang mencairkan gunung es di hatiku.

Aku, jatuh cinta padanya. Melewati hari-hari dengan penuh kebahagiaan dan kasih sayang. Kecup rindu dan manja yang bergelora. Cinta. Bahkan kupikir dialah pria yang tepat itu. Maka masa depan semakin terlihat benderang. Meyakinkan diri untuk bersamanya. Merangkai berbagai rencana. Meskipun masih terasa asing, karena itu semua terjadi dalam waktu sekejap.

Lalu hal buruk pun terjadi. Ketika dia mulai menarik diri. Aku pun sadar, sudah saatnya mempersiapkan hati untuk melepaskan kebahagiaan itu sekali lagi. Kudidik hatiku agar menelan kepedihan yang disuguhkannya dari hari ke hari. Menabahkan diri bahwa itu adalah bagian dari pengorbanan yang harus di jalani.

Tapi aku tau itu takkan berlangsung lama. Cepat atau lambat aku atau dia pasti akan menyerah. Namun ternyata aku cukup tangguh, rasa sayangku lebih besar daripada ketahananku terhadap kesepian yang dihempaskannya. Aku bertahan. Dia tidak.

Aku pernah dikhianati. Jadi kuanggap saja ini sebagai pengkhianatan. Paling tidak pengkhianatannya atas kata-katanya sendiri. Apapun alasan yang diberikannya padaku, aku justru percaya ada hal lain yang disembunyikannya dariku. Firasat kadang tidak berbohong.

Jadi hatinya menghapusku, meninggalkan hatiku yang tetap mencintainya. Aku pun tau bahwa tak ada gunanya memohon, berandai-andai, atau menenggelamkan diri dalam kesedihan yang panjang. Aku memaksa kedua kakiku berdiri dan berjalan tanpa menengok lagi.

Letih. Meski terseok namun aku tetap berusaha tetap berjalan. Letih. Meski tidurku sudah kembali normal, namun aku masih saja sering terbangun di tengah malam, teringat padanya dan menghadirkan sensasi terbakar pada punggungku yang membuatku sulit untuk memejam lagi.

Aku lelah. Aku benci terus terkungkung dalam kesedihan yang tidak nyata namun selalu membayangi setiap langkahku. Aku benci merasa sedih.

Jadi malam ini kuputuskan untuk mengingatnya. Memutar semua kenangan yang terekam dalam memoriku. Menumpahkan segala kesedihanku. Menenggelamkan diri dalam rasa sakit yang selama ini mengganggu seperti kerikil kecil yang masuk dalam sepatu. Aku tidak peduli. Tapi malam ini harus tuntas!

Hujan semakin menderu. Meninggalkan jejak yang semakin tidak beraturan pada kaca jendelaku. Menciptakan alur-alur yang semakin tidak nyata, seperti kenangan tentangnya yang terasa kian samar. Aku menangis. Bukan menangisinya, tapi menangis karena lelahku. Aku tau semua telah cukup. Malam ini untuk yang terakhir kalinya.

Aku kehabisan cara

Aku kehabisan cara untuk meredam rindu yang bergemuruh. Satu minggu tak mendapatimu di timelineku dan itu membuatku cukup geram. Aku menahan rindu karena aku tau, kamu sedang tak bisa diganggu.

Jadi kau tau betapa girangnya aku mendapatkan pesanmu kemarin. Hanya sekian menit kita berbincang tapi itu cukup mengalirkan rinduku keluar dari pori-pori tubuhku, menguap ke udara dan menyublim menjadi awan-awan di angkasa. Aku sedikit lega.

Jadi bayangkan saja betapa gembiranya aku saat kamu menyetujui usulanku untuk nite call. Pada akhirnya aku mendengarkan suaramu lagi. Aku senang, kamu terdengar sangat bersemangat,  sehat dan bahagia.

Lalu kita memperbincangkan banyak hal. Sebenarnya tak terlalu banyak, hanya kamu yang berulang-ulang bilang kagum kepadaku karena aku menulis begitu banyak kisah. Kamu yang berulang-ulang memuji imajinasiku. Taukah kamu aku senang mendengarkanmu? Bukan karena pujianmu untukku, tapi karena suaramu yang begitu bersemangat. Suaramu itulah yang sering kurindukan.

Mungkin kamu tak menyadari, atau kamu menyadari, ya kamu menyadarinya bahwa banyak pesan yang tersembunyi di balik tulisan-tulisanku. Pesan cinta untukmu. Karena kisah-kisah itu memang kubuat untukmu. Karena aku kehabisan cara.

***

Aku kehabisan cara untuk mengerti. Tak perlu banyak bukti, tak perlu mengada-ada, dan aku tidak sedang mencoba mencocokkan kita berdua. Tapi memang banyak kesamaan yang aku cermati dari aku dan kamu. Entah mengapa. Apakah kamu juga menemukannya? Karena mungkin kita memang sering memandang suatu hal dari sudut yang sama.
Kamu seperti alunan musik bagiku, membuatku bersenandung mengikuti iramamu. Entahlah, tapi aku merasa begitu lebur bersamamu. Salahkah lalu bila aku ingin selalu bernyanyi bersamamu? Karena kamu begitu mempesonakanku.
Kamu seperti sebuah buku yang kusukai, mengantarkanku kepada hamparan imajinasi tentang aku dan kamu. Sebuah buku yang selalu ingin kubaca dan tak pernah akan habis kubaca. Salahkah lalu bila aku ingin selalu membacamu? Karena kamu begitu mempesonakanku.

Kamu adalah semilir angin yang sejuk. Kamu adalah secangkir coklat panas yang lezat. Kamu adalah aroma tanah basah seusai hujan. Kamu adalah keindahan. Salahkah lalu bila aku ingin selalu memilikimu? Karena kamu begitu mempesonakanku.

Dan kamu adalah yang ingin kusandingkan dengan aku. Menciptakan sebuah ‘kita’ yang berisi ‘kamu dan aku’. Kamu adalah serangkaian cerita yang selalu ingin kutulis. Kamu adalah kisah yang ingin kuceritakan kepada semua orang. Kamu adalah dongeng sebelum tidur. Kamu dan semua tentangmu adalah hikayat yang sangat hebat.
Tapi ketika menulis tentang kita, aku tak pernah berani untuk menuliskan bagian akhirnya. Biar, jadikanlah ‘kita’ sebagai kisah yang belum berujung. Mungkin nanti akhirnya Tuhan berbaik hati melabuhkan kita pada sebuah kisah yang membahagiakan bagi masing-masing. Entah di sana ada ‘kita’ ataukah masih tetap ‘aku’ dan ‘kamu’.

***

Aku kehabisan cara untuk menghitung. Baru sepuluh kali kita bertemu, tapi rasanya sudah ratusan kali. Kamu juga merasakannya kan? Entah kau maknai apa kedekatan kita itu. Mungkin hanya selingan di sela-sela waktumu yang berharga. Dan juga memang hanya selingan di sela-sela waktuku yang berharga. Tapi selingan itu mengakrabi benakku dan menghujani hatiku dengan rindu-rindu yang memburu.

Telepon malam itu membuatku menyadari banyak hal, bukan selingan itu yang kita butuhkan untuk saling berdekatan. Hanya seberapa banyak waktu yang tersita untuk kamu atau aku memikirkan kita. Dan aku kehabisan cara menemukan kata untuk mendeskripsikannya.

Kita itu apa?

***

Aku tau pada akhirnya aku akan mengakui bahwa aku menyayangimu. Aku tau bahwa aku masih menunggumu. Atau menunggu entah apa. Aku masih tetap berada di titik yang sama dan enggan melangkah. Titik yang membuatku gerah.
Seakan terlintas berjuta harap dalam cemasku. Aku tau pada akhirnya aku akan kehabisan cara untuk membuatmu mencintaiku.

Ataukah aku hanya perlu menunggu lebih lama?

***

gambar diambil dari:

http://tripcart.typepad.com/tripcart_the_blog/2007/05/bringo_kills_ho.html


https://belindch.files.wordpress.com/2012/02/waiting_for_summer_by_p0rg.jpg?w=300