abses periapikal akut

Abses apikal akut atau yang biasa dikenal dengan abses periapikal akut, abses dentoalveolar akut, atau abses periradikuler akut merupakan suatu gejala dari respon inflamasi jaringan ikat periapikal (Matthews dkk., 2003). Abses ini merupakan lesi likuefeksi yang menyebar atau terlokalisir yang menghancurkan jaringan periradikuler dan merupakan respon inflamasi parah terhadap iritan mikroba dan iritan non mikroba dari pulpa yang nekrosis (Torabinejad & Walton, 1994), ditandai dengan lokalisasi nanah dalam struktur yang mengelilingi gigi (Gould, 2010).

Abses periapikal biasanya terjadi sebagai akibat dari infeksi yang mengikuti karies gigi dan infeksi pulpa, setelah trauma pada gigi yang mengakibatkan pulpa nekrosis, iritasi jaringan periapikal baik oleh manipulasi mekanik maupun oleh aplikasi bahan-bahan kimia di dalam prosedur endodontik, dan dapat berkembang secara langsung dari periodontitis periapikal akut (Shafer, 1983; Soames & Shoutham, 1985). Abses periapikal akut juga dapat berkembang dari abses periapikal kronis yang mengalami eksaserbasi akut (Farmer & Lawton, 1966).

Diagnosis abses periapikal akut sangat jelas. Pasien akan mengalami pembengkakan difus dan gigi yang bersangkutan akan terasa sakit pada pemeriksaan perkusi. Pasien mengeluh gigi tersebut mengganjal apabila menyentuh gigi lawan jika berada dalam oklusi. Selain itu gigi tidak merespon terhadap tes pulpa. Pemberian rangsangan es akan sedikit mengurangi rasa sakit, berbeda dengan panas yang mengintensifkan rasa sakit. Gigi tersebut juga dapat menunjukkan adanya mobilitas (Weine, 2004). Menurut Glenny (2004), gejala abses periapikal akut secara umum adalah: gigi non-vital, nyeri berdenyut onset cepat, nyeri saat menggigit atau perkusi, pembengkakan, radiografi tidak menunjukkan perubahan untuk radiolusensi periapikal.

Kebanyakan pasien dapat diobati dengan mudah dengan analgesik, antibiotik, drainase, dan / atau rujukan ke dokter gigi atau ahli bedah mulut. Namun, dokter harus menyadari potensi komplikasi dari abses tersebut (Gould, 2010). Dalam kasus abses lokal dan menyebar, drainase harus dimulai sesegera mungkin. Jika drainase segera tidak memungkinkan, analgesia yang sesuai (NSAID) harus direkomendasikan sampai infeksi dapat dibuang secara memadai. Pasien harus diberi dosis analgesik (NSAID jika tidak kontra-indikasi) pra-bedah, dan / atau segera setelah operasi (Glenny,2004).

Terapi Antibiotik tidak diindikasikan pada pasien dinyatakan sehat dan ketika abses terlokalisir. Antibiotik sistemik tidak memberikan manfaat tambahan atas drainase dari abses dalam kasus infeksi lokal kecuali terdapat komplikasi sistemik (misalnya demam, limfadenopati, cellulitis), bengkak menyebar atau untuk pasien immunocompromised (Matthews dkk., 2003).

referensi:

Farmer ED, Lawton FE. 1966. Stones’ Oral and Dental Diseases. 5th ed. The English Language Book Society and E. &S. Livingstone Ltd.

Glenny, M. 2004. Clinical practice guideline on emergency management of acute apical periodontitis (AAP) in adults. Evidence-Based Dentistry  5 :7–11

Gould, J., 2010,  Dental Abscess, WebMed (27/3/2011)

Matthews, D.C., Sutherland, S., Basrani, B., 2003, Emergency management of acute apical abscesses in the permanent dentition: a systematic review of the literature, J Can Dent Assoc.; 69 (10): 660.

Shafer WG. 1983. A Textbook of Oral Pathology. 4th ed. Philadelphia. W.B. Saunders Company.

Soames JV, Shoutham JC. 1985. Oral Pathology. Oxford University Press.

Torabinejad M, Walton RE. 1994. Penyakit Jaringan Pulpa dan jaringan Sekitar Akar di dalam Walton RE, Torabinejad M. Prinsip dan Praktik Ilmu Endodonsi. Ed.2. Alih Bahasa Sumawinata N, Shidarta W, Nursasongko B. Jakarta. EGC.

Weine, F. S. 2004. Endodontic Therapy. Elsevier Mosby Inc.: St. Louis.

kontributor: chong wengkit, helmy oktaviany hamka, nirwana laksmita murti

editor: belinda chandra hapsari

nekrosis pulpa

Nekrosis adalah matinya pulpa. Dapat sebagian atau seluruhnya, tergantung pada apakah sebagian atau seluruh pulpa terlibat. Nekrosis meskipun akibat inflamasi dapat juga terjadi setelah injuri traumatik yang pulpanya rusak sebelum terjadi reaksi inflamasi. Nekrosis pulpa dapat disebabkan oleh injuri yang membahayakan pulpa seperti bakteri, trauma dan iritasi kimiawi (Grossman et al., 1995).

Nekrosis pulpa jarang menyebabkan prosedur kegawatdaruratan. Gigi yang kelihatan normal dengan pulpa nekrotik tidak menyebabkan gejala rasa sakit. Sering, diskolorasi gigi adalah indikasi pertama bahwa pulpa mati (Grossman et al., 1995). Meskipun kondisi kegawatdaruratan tidak terjadi, pasien dengan nekrosis pulpa harus segera dirawat karena kasus ini dapat menjadi akut dan lebih parah.  Biasanya kondisi ini pertama kali ditemukan dalam rontgen periapikal selama pemeriksaan radiograf atau ketika ditemukan pembengkakan atau distention pada jaringan periapikal selama pemeriksaaan dengan jari (palpasi). Radiograf biasanya menampakkan area radiolusen berkisar dari kepadatan dari ligament periodontal ke periapikal lesi yang luas. Jika apeks akar tertutup bucal plate tidak ada perubahan secara jelas pada periapikal. Gigi sudah tidak sensitif saat dilakukan perkusi, atau hanya sedikit sensitif, dan tidak memberikan respon pada tes vitalitas (Weine,2004).

Pulpektomi dengan debridemen yang sempurna merupakan pilihan perawatan yang dapat dilakukan. Jaringan harus dihilangkan dari saluran akar secara tuntas untuk mengurangi gejala dan mencegah proliferasi bakteri. Gigi nekrosis tanpa pembengkakan tidak memberikan respons terhadap stimuli, namun gigi tersebut terkadang masih mengandung jaringan terinflamasi vital di daerah apeks dan memiliki jaringan periradikuler terinflamasi yang menimbulkan nyeri (periodontitis akut). Oleh karena itu, anestesi lokal diberikan demi kenyamanan dan kerja sama pasien (Tarigan, 1994; Walton dan Torabinejad, 2002). Isolator karet dipasangkan, panjang kerja ditentukan dengan menggunakan electronic apex locator. Jika menggunakan instrument tangan, maka panjang kerja harus dikurangi 1 mm dari panjang gigi dan saluran akan dipreparasi 3 kali dengan menggunakan 3 instrumen yang lebih besar dari instrument pertama. Apabila panjang kerja tidak dapat ditegakkan sebagaimanamestinya, perkiraan panjang kerja pada perawatan kegawatdaruratan dapat dilakukan dengan menggunakan rontgen foto (Gutmann dkk. 2006).

Jaringan pulpa diambil menggunakan K-file yang sesuai dengan panjang kerja. K-file diputar searah jarum jam memasuki jaringan lunak hingga panjang kerja tercapai. K-file ditarik keluar bersama dengan jaringan nekrosis pulpa disekeliling K-file. Setelah pengangkatan jaringan lunak, H-file digunakan dengan gerakan sirkumferensial untuk menghilangkan sisa jaringan lunak dan menghaluskan dinding saluran akar. Instrumen putar juga dapat digunakan untuk mengangkat jaringan lunak dan debris ke koronal tanpa resiko terdorongnya debris ke apikal. Saluran akar tidak boleh diperlebar tanpa mengetahui panjang kerja (Dumsha dan Gutmann, 2000; Gutmann dkk. 2006).

Irigasi saluran akar menggunakan larutan natrium hipoklorit 2,6-5,25 % selama dan setelah pembersihan saluran akar, kemudian saluran akar dikeringkan dengan paper point. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan jaringan lunak yang tersisa, mencegah debris terdorong ke apex akar gigi, dan membunuh bakteri di saluran akar sehingga meminimalkan kegagalan perawatan (Dumsha dan Gutmann, 2000; Gutmann dkk. 2006; Tarigan, 1994; Walton dan Torabinejad, 2002).

perawatan saluran akar

perawatan saluran akar

 

Jika saluran akar cukup lebar, maka diisi dengan pasta kalsium hidroksida kemudian ditumpat sementara. Sejumlah klinisi menempatkan cotton pellet yang dibasahi medikamen intrakanal (Formokresol, CMCP, kresatin) di kamar pulpa sebelum penumpatan sementara, tetapi sebenarnya pemberian medikamen itu tidak bermanfaat (Dumsha dan Gutmann, 2000; Tarigan, 1994; Walton dan Torabinejad, 2002). Pasien dapat diberikan resep analgesik untuk meredakan nyeri, antibiotik tidak diindikasikan apabila prosedur dilakukan secara sempurna (Walton RE dan Keiser K, 2009).

referensi

Dumsha TC, and Gutmann JL. 2000. Clinician’s Endodontic Handbook. Lexi-Comp Inc.: Ohio. P. 137-139.

Grossman LI, Oliet S, Del Rio CE. 1995. Ilmu Endodontik Dalam Praktek (terj.). EGC: Jakarta. P. 82.

Gutmann JL, Dumsha TC, Lovdahl PE. 2006. Problem Solving in Endodontics. Prevention, Identification, and Management. Elsevier Mosby Inc.: St. Louis. P. 291-292.

Tarigan R. 1994. Perawatan Pulpa Gigi (endodoti). Edisi I. Widya Medika: Jakarta.

Torabinejad, M., and Walton, R.E., 2008, Endodontics: Principles and Practice, 4th edition, Elsevier Health Sciences, UK

Walton RE dan Keiser K. 2009. Endodontics Emergencies and Therapetics. In: Torabinejad M dan Walton RE (ed.):  Endodontics: Principles and Practice. Elsevier Saunders: St. Louis. P. 156-157.

Weine, F. S. 2004. Endodontic Therapy. Elsevier Mosby Inc.: St. Louis.

kontributor: mega cicilia, yosaphat bayu, ratna fitrianingrum

editor: belinda chandra hapsari

Pulpitis Akut dengan Periodontitis Apikal

RCT

Kasus ini merupakan kasus yang paling sulit untuk di tangani karena biasanya terjadi pada gigi molar rahang bawah, dimana tidak terdapat kedalaman yang cukup untuk dilakukan anestesi. Perawatan kegawatdaruratan kasus ini memerlukan waktu yang cukup mengingat kondisi jaringan inflamasi yang harus dihilangkan berada di daerah apikal saluran akar.   Gigi dengan pulpitis akut disertai periodontitis akut akan menghasilkan perkusi positif pada pemeriksaan objektif. Rasa sakit pada gigi tersebut dapat bertambah dengan adanya rangsang panas dan berkurang dengan rangsang dingin. Pemeriksaan radiograf menunjukkan sedikit area radiolusen di daerah periapikal serta penebalan ruang ligamen periodontal. Pada gigi berakar banyak, penebalan ini dapat terjadi hanya pada satu akar saja (Weine,2004).

Terapi terbaik yang dapat diberikan pada kasus ini adalah pulpektomi secara menyeluruh pada gigi nonmolar, dan gigi molar jika waktu mencukupi. Jaringan yang terinflamasi pada pulpitis akut disertai periodontitis ini terdapat pada bagian apikal saluran akar. Jika perawatan yang dilakukan hanya pulpotomi, kemungkinan tidak akan menghilangkan rasa sakit pasien.  Seluruh jaringan pulpa di dalam saluran akar harus dibersihkan dan akses kavitas harus ditutup untuk mendapatkan hasil yang terbaik (Weine,2004).

Langkah pertama dengan memberikan anestesi lokal dalam dosis besar, sebagian besar gigi posterior membutuhkan paling tidak 2 ampul obat anestesi. Setelah terlihat tanda parestesi, lakukan preparasi kavitas. Pada beberapa kasus dengan pulpa terinflamasi parah, pasien akan tetap merasakan sakit saat preparasi walaupun tanda parestesi sudah terlihat sebelumnya. Dokter gigi harus menjelaskan kepada pasien bahwa keadaan tersebut diakibatkan oleh parahnya inflamasi pada pulpa sehingga menghambat efektivitas obat anestesi. Pasien diminta untuk menahan sakitnya beberapa saat sampai anestesi dapat dilakukan langsung pada jaringan yang terinflamasi. Efek pendinginan dari semprotan air juga dapat sedikit meredakan sakit. Saat kamar pulpa telah berhasil dibuka, anestesi dapat langsung diaplikasikan pada pulpa vital, dengan begitu biasanya rasa sakit akan hilang (Weine,2004).

Pulpektomi mudah dilakukan pada gigi nonmolar dengan waktu yang minimal, namun membutuhkan waktu yang lebih pada gigi molar. Kondisi tersebut boleh diatasi dengan hanya melakukan pulpotomi pada saluran akar terbesar misalnya saluran akar palatal molar rahang atas atau saluran akar distal molar rahang bawah. Prosedur ini biasanya berhasil menghilangkan rasa sakit pasien karena inflamasi memang lebih sering terjadi pada pulpa di saluran akar yang terbesar, walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa inflamasi terjadi justru pada pulpa di saluran akar terkecil. Pada kondisi tersebut pulpotomi tidak akan menghilangkan tapi justru akan memperparah rasa sakitnya. Kunjungan berikutnya harus segera dilakukan untuk membuang jaringan pulpa yang tersisa. Jika waktu yang tersedia cukup banyak, maka lebih baik dilakukan pulpektomi (Weine,2004).

referensi: Weine, F. S. 2004. Endodontic Therapy. Elsevier Mosby Inc.: St. Louis.